Rabu, 09 November 2011

Pembuatan Undang-undang

Kita harus mengetahui cara kerja DPR dalam Pembuatan Undang-undang, yaitu sebagai berikut:
DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Setiap Rancangan Undang-Undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Rancangan Undang-Undang (RUU) dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD.
DPD dapat mengajukan kepada DPR, RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Apabila ada 2 (dua) RUU yang diajukan mengenai hal yang sama dalam satu Masa Sidang yang dibicarakan adalah RUU dari DPR, sedangkan RUU yang disampaikan oleh presiden digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.
RUU yang sudah disetujui bersama antara DPR dengan Presiden, paling lambat 7 (tujuh) hari kerja disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi undang-undang. Apabila setelah 15 (lima belas) hari kerja, RUU yang sudah disampaikan kepada Presiden belum disahkan menjadi undang-undang, Pimpinan DPR mengirim surat kepada presiden untuk meminta penjelasan. Apabila RUU yang sudah disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak RUU tersebut disetujui bersama, RUU tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.

Proses Pembahasan RUU dari Pemerintah di DPR RI

RUU beserta penjelasan/keterangan, dan/atau naskah akademis yang berasal dari Presiden disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan DPR dengan Surat Pengantar Presiden yang menyebut juga Menteri yang mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan RUU tersebut.
Dalam Rapat Paripurna berikutnya, setelah RUU diterima oleh Pimpinan DPR, kemudian Pimpinan DPR memberitahukan kepada Anggota masuknya RUU tersebut, kemudian membagikannya kepada seluruh Anggota. Terhadap RUU yang terkait dengan DPD disampaikan kepada Pimpinan DPD.
Penyebarluasan RUU dilaksanakan oleh instansi pemrakarsa. Kemudian RUU dibahas dalam dua tingkat pembicaraan di DPR bersama dengan Menteri yang mewakili Presiden.

Proses Pembahasan RUU dari DPD di DPR RI

RUU beserta penjelasan/keterangan, dan atau naskah akademis yang berasal dari DPD disampaikan secara tertulis oleh Pimpinan DPD kepada Pimpinan DPR, kemudian dalamRapat Paripurna berikutnya, setelah RUU diterima oleh DPR, Pimpinan DPR memberitahukan kepada Anggota masuknya RUU tersebut, kemudian membagikannya kepada seluruh Anggota. Selanjutnya Pimpinan DPR menyampaikan surat pemberitahuan kepada Pimpinan DPD mengenai tanggal pengumuman RUU yang berasal dari DPD tersebut kepada Anggota dalam Rapat Paripurna.
Bamus selanjutnya menunjuk Komisi atau Baleg untuk membahas RUU tersebut, dan mengagendakan pembahasannya. Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja, Komisi atau Badan Legislasi mengundang anggota alat kelengkapan DPD sebanyak banyaknya 1/3 (sepertiga) dari jumlah Anggota alat kelengkapan DPR, untuk membahas RUU Hasil pembahasannya dilaporkan dalam Rapat Paripurna.
RUU yang telah dibahas kemudian disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden dengan permintaan agar Presiden menunjuk Menteri yang akan mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan RUU tersebut bersama DPR dan kepada Pimpinan DPD untuk ikut membahas RUU tersebut.
Dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya surat tentang penyampaian RUU dari DPR,Presiden menunjuk Menteri yang ditugasi mewakili Presiden dalam pembahasan RUU bersama DPR. Kemudian RUU dibahas dalam dua tingkat pembicaraan di DPR.
Untuk proses secara lengkap dapat dilihat di Tata tertib DPR RI BAB XVI
© Sekretariat Jenderal DPR RI
disalin dari: tentang DPR

Kajian RUU Tenaga Kesehatan dari M. Sholeh Kosim

Kemarin datang ke rumah sakit kami, 3 orang staf dari Sekretariat jenderal Dewan perwakilan Rakyat ( DPR ) yang bertujuan mengumpulkan data tentang Tenaga kesehatan. Disampaikan bahwa kunjungan beliau beliau ini tidak ada kaitannya langsung drngan RUU Tenaga kesehatan yang diusulkan beberapa anggota DPR, namun kami diminta untuk menjawab pertanyaan yang diharapkan tidak ada kaitan nya langsung drngan RUU tersebut . Kami berusaha sekuat mungkin dalam menjawab pertanyaan beliau bertiga
Kenapa masalah ini diangkat dalam laman ini ? Karena keinginan untuk berbagi dan memberi asupan yang mungkin berguna untuk kebaikan RUU manapun juga. Jadi tulisan ini
“ dedicated To Whom it may concern “
Ada beberapa catatan saya :.
Catatan : Untuk RUU Tenaga kesehatan ini :
  1. RUU Nakes ini untuk Nakes di sektor Pemerintah saja atau non Pemerintah ??? Tidak disebut kan . Pada hal banyak Nakes yang bekerja di sektor swasta yang harus terjangkau oleh RUU ini
  2. Disebutkan bahwa hanya untuk Nakes yang bukan dokter karena dokter sudah disebut di UU Kesehatan sebagai : ” tenaga medis ”. Ini perlu dipikirkan kembali
  3. Memang sangat diperlukan UU khusus yang mengatur tenaga kesehatan mengingat saat ini tenaga kesehatan hanya diatur dalam Peraturan Pemerintah (misalnya PP 32 tahun 1996) oleh karena alasan :
  • Perlu payung hukum dengan hirargi hukum dan perundangan yang cukup tinggi berupa UU
  • Tenaga kesehatan adalah tenaga spedifik yang kadang tidak dapat disamakan dengan tenaga kerja lain
4..Pengaturan tenaga kesehatan dalam suatu undang-undang khusus, materi muatan yang harus diatur dalam undang-undang tersebut adalah materi muatan hendaklah menggambarkan Fungsi Manajemen SDM yang terdiri dari
    • Staffing dan personalia dalam organisasi, yang mencakup analisis tugas/jabatan,
    • Rekrutmen
    • Seleksi calon tenaga kerja,
    • Orientasi,
    • Pelatihan,
    • Pemberian imbalan,
    • Penilaian
5.Memang saat ini tenaga medis sudah diatur dalam Undang-undang Praktek Kedokteran, tetapi Undang-undang Praktek Kedokteran hanya mengatur bagaimana Nakes melakukan praktik kedokteran, sedangkan Nakes tidak hanya terdiri dari dokter saja sehingga masih perlu Undang-undang Praktek Kedokteran tersebut perlu dimasukkan / dilebur dalam RUU Tenaga Kesehatan
5.Lembaga secara khusus yang menangani registrasi dan ijin praktek selama ini sudah ada. Tidak perlu dibentuk lagi tetapi yang perlu diubah adalah paradigma : lebih simple atau sederhana, akuntabel dan efisien
6.Sangat diperlukan uji kompetensi secara nasional oleh Pemerintah cq. Menteri Kesehatan terhadap lulusan akademi / fakultas untuk memperoleh sertifikasi sebagai salah satu syarat dalam bekerja
7.Kebijakan secara Nasional sangat diperlukan, namun dalam teknik pelaksanaan nya dapat dibuat dan dilaksanakan secara secara regional atau desentralisasi, Yang penting adalah rasa keadilan, jujur , valid dan akuntabel
8 Masih perlu diatur mengenai sanksi dalam pengaturan mengenai tenaga kesehatan Sanksi dalam kerangka Reward and punishment sangat diperlukan dan merupakan satu keharusan. Dasarnya adalah : praduga tak bersalah lebih dulu baru dilakukan tindakan investigasi , yang penting adalah keadilan dan kejujuran
9.Penganggaran dan perencanaan tentang pengadaan dan distrisbusi Nakes ini harus diperhatikan dengan betul karena sampai saat ini belum dapat dilakukan dengan baik. Mungkin kebijakan sentral harus dibuat oleh karena era desentralisasi dan otonomi daerah ini sering menjadi kendala
10.Sangat perlu dilakukan evaluasi berkala bagi Nakes untuk menilai kompetensi dan komitmen nya. Kinerja individual perlu dinilai. Penilaian hendaklah secara berjenjang dimulai dari atasan langsung dan ditarik vertikal ke atas
Mudah mudahan asupan ini dapat didengar semua pihak yang berkepentingan dengan RUU dan menjadi asupan yang perlu ditindak lanjuti
Semarang 6 Maret 2010

Notulensi Netmeet Tim Ad hoc RUU Nakes ISMKMI

Hari/tanggal: Selasa,18 Oktober 2011
Waktu: 19.00-22.00 WIB

Kajian RUU NAKES
Kejanggalan-kejanggalan dalam RUU NAKES:
pasal 1 ayat 1
tenaga kesehatan itu orang yang "mengabdikan diri di bidang kesehatan"....
berarti setiap orang yang mengabdikan diri di bidang kesehatan sudah berwenang dalam melakukan upaya kesehatan. meskipun ada kata "memiliki pengetahuan" tapi ada kata "serta", berarti dua-duanya boleh melakukan upaya kesehatan.
Pasal 1 ayat 2
fasilitas pelayanan kesehatan adalah "tempat" .....
masalahnya berarti upaya kesehatan hanya boleh dilaksanakan di tempat yang dinamakan "fasilitas kesehatan",
pasal 1 ayat 5
Sertifikat Kompetensi adalah .... pekerjaan profesinya di seluruh Indonesia"
masalahnya adalah kurikulum di KESMAS seluruh Indonesia belum semuanya merata. perlu adanya kurikulum yang sama antar kesmas di Indonesia
pasal 1 ayat 4
kompetensi adalah.... menjalankan "praktik" .....
masalahnya ada kerancuan praktik itu bukannya yang boleh melaksanakan cuma tenaga medis seperti dokter dan drg, jika redaksinya tetap seperti itu pasti ada kerancuan.
pasal 1 ayat 12
Standar pelayanan profesi.....
ada kerancuan apa itu pelayanan kesehatan? apa bedanya dengan upaya kesehatan? (tidak dijelaskan)
pasal 9 ayat 1
tidak dijelaskan kualifikasi minimumnya apa, tapi malah dijelaskan dalam bentuk catatan.” Undang-undang ada catatannya???”
masalah selanjutnya gimana nasib lulusan SMK kesehatan di Indonesia? Jadi asisten semuakah? atau harus dikuliahkan semua? mampukah melakukan itu saat UU ini disahkan?
pasal 10 ayat 1 ,terkait dengan pembagian kesmas ,. mengingat di setiap universitas tidak sama
apakah gizi dan kesling, harusnya dibedakan atau jadi setu kesatuan dg kesmas?

Tim ad hoc RUU NAKES ISMKMI



Secara bahasa "Ad hoc" dari bahasa latin berarti "to this" atau "untuk ini". Dan oleh karena itu menggunakan sistem "Adhocracy" yang dapat diartikan sistem dimana keberadaan tim dirancang untuk seorang pasien dan dibubarkan jika maksudnya telah diselesaikan. Tim ini dibentuk ketika Rapat Kerja Nasional VII di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta pada tanggal 30 Mei 2011. Keberadaan tim ini dimaksudkan untuk mengawal Proses Pengesahan Rancangan Undang-Undang Tenaga Kesehatan.
Berawal dengan pemilihan ketuanya, yaitu Rifky Anindika dari Unair Surabaya, dan dilanjutkan dengan pemilihan anggotanya oleh Ketua. Struktur Tim Adhoc adalah sebagai berikut:

Ketua : Rifky Anindika (Universitas Airlangga)

Anggota :

Ahmad Syarifudin (Universitas Indonesia)
Desri Astuti (Universitas Muhammadiyah Jakarta)
Rifqi Abdul Fattah (Universitas Muhammadiyah Jakarta)
Elia Nur A’yunin (Universitas Jenderal Soerdirman)
M. Agus Zaini (Universitas Airlangga)
Ambarwati (Universitas Airlangga)